Presiden Prancis Macron: Penangkapan pimpinan aplikasi perpesanan Telegram bukan karena motif politik
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan pada hari Senin bahwa penangkapan CEO aplikasi perpesanan populer Telegram, Pavel Durov, di Prancis bukanlah langkah politik
Presiden Prancis Macron
Media Prancis melaporkan bahwa Durov ditahan di bandara Paris pada hari Sabtu berdasarkan surat perintah penangkapan yang menuduh platformnya telah digunakan untuk pencucian uang, perdagangan narkoba, dan pelanggaran lainnya. Durov adalah warga negara Rusia, Prancis, Uni Emirat Arab, dan negara kepulauan Karibia St. Kitts dan Nevis.
Dalam komentar publik pertama Prancis terkait penangkapan tersebut, Macron mengunggah di platform media sosial X bahwa negaranya “sangat berkomitmen” terhadap kebebasan berekspresi, tetapi “kebebasan tersebut ditegakkan dalam kerangka hukum, baik di media sosial maupun di kehidupan nyata, untuk melindungi warga negara dan menghormati hak-hak fundamental mereka.”
Mengecam apa yang disebutnya sebagai informasi palsu yang beredar tentang penangkapan tersebut, ia mengatakan bahwa “itu sama sekali bukan keputusan politik. Terserah kepada hakim untuk memutuskan masalah tersebut.”
Pejabat pemerintah Rusia telah menyatakan kemarahan atas penangkapan Durov, sebagian menyebutnya bermotif politik dan mengatakan hal itu menunjukkan standar ganda Barat terhadap kebebasan berbicara.
Telegram, yang mengklaim memiliki hampir satu miliar pengguna di seluruh dunia, didirikan oleh Durov dan saudaranya setelah tindakan keras pemerintah Rusia pasca protes massa pro-demokrasi yang mengguncang Moskow pada akhir tahun 2011 dan 2012.
Demonstrasi tersebut mendorong otoritas Rusia untuk menekan ruang digital, dan Telegram serta retorika pro-privasinya menawarkan cara yang nyaman bagi warga Rusia untuk berkomunikasi dan berbagi berita.
Telegram juga terus menjadi sumber berita populer di Ukraina, di mana berbagai media dan pejabat menggunakannya untuk berbagi informasi tentang perang, dan menyampaikan peringatan rudal dan serangan udara.
Dalam pernyataan yang diunggah di platformnya setelah penangkapannya, Telegram mengatakan bahwa pihaknya mematuhi hukum Uni Eropa, dan moderasinya “sesuai standar industri dan terus ditingkatkan.”
“Tidak masuk akal untuk mengklaim bahwa suatu platform atau pemiliknya bertanggung jawab atas penyalahgunaan platform tersebut,” kata posting Telegram. “Hampir satu miliar pengguna di seluruh dunia menggunakan Telegram sebagai sarana komunikasi dan sebagai sumber informasi penting. Kami sedang menunggu penyelesaian segera dari situasi ini. Telegram bersama Anda semua.”
Seorang hakim investigasi Prancis memperpanjang perintah penahanan Durov pada Minggu malam, media Prancis melaporkan pada Senin. Berdasarkan hukum Prancis, Durov dapat tetap ditahan untuk diinterogasi hingga empat hari. Setelah itu, hakim harus memutuskan apakah akan mendakwanya atau membebaskannya.
Kedutaan Besar Rusia di Paris mengatakan pejabat konsuler tidak diberi akses ke Durov karena otoritas Prancis menganggap kewarganegaraan Prancis sebagai kewarganegaraan utamanya. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan pada hari Senin, “Kami masih belum tahu apa sebenarnya tuduhan terhadap Durov. … Mari kita tunggu sampai dakwaan diumumkan – jika memang diumumkan.”
Elon Musk, miliarder pemilik X yang di masa lalu menyebut dirinya sebagai “pejuang absolut kebebasan berbicara,” memposting “#freePavel” untuk mendukung Durov setelah penangkapan tersebut.
Pemerintah Barat sering mengkritik Telegram karena kurangnya moderasi konten, yang menurut para ahli membuka platform pengiriman pesan tersebut untuk potensi penggunaan dalam pencucian uang, perdagangan narkoba, dan penyebaran materi yang terkait dengan eksploitasi seksual terhadap anak di bawah umur.
Pada tahun 2022, Jerman mengeluarkan denda sebesar $5 juta terhadap operator Telegram karena gagal menetapkan cara yang sah untuk melaporkan konten ilegal atau menyebutkan nama entitas di Jerman untuk menerima komunikasi resmi. Keduanya diwajibkan berdasarkan undang-undang Jerman yang mengatur platform daring besar.
Tahun lalu, Brasil menangguhkan Telegram untuk sementara waktu karena kegagalannya menyerahkan data mengenai aktivitas neo-Nazi yang terkait dengan penyelidikan polisi terhadap penembakan di sekolah pada bulan November.