Minoritas Indonesia takut akan kembalinya politik identitas
Berita pencalonan Anies Rasyid Baswedan sebagai presiden pada 2024 membangkitkan kenangan buruk pemilu yang pahit karena perbedaan agama
Ketika mendengar Anies Rasyid Baswedan dicalonkan sebagai calon presiden untuk pemilihan 2024, Rikard Rahmat, seorang Katolik berusia 44 tahun, langsung teringat kembali pada pemilihan gubernur Jakarta lima tahun lalu yang menurut banyak orang dirusak oleh bias agama dan ras yang dikaitkan dengan politik identitas.
Pemilu tersebut dimenangkan oleh Anies, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dengan dukungan kuat dari kaum Islam garis keras yang secara terbuka mendukungnya, mengalahkan pesaingnya Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, seorang Kristen keturunan Tionghoa yang dituduh melakukan penistaan agama.
“Apa yang dilakukan Anies pada pemilihan gubernur 2017 tidak dapat dimaafkan karena pada saat yang sama bangsa ini menghadapi ancaman besar dari para ekstremis agama yang ingin mengubah arah negara dengan memanfaatkan demokrasi. Ada kelompok garis keras seperti Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir yang kemudian dilarang oleh pemerintah,” kata Rahmat, seorang kritikus keras Anies.
Ia menunjuk bagaimana masjid di Jakarta digunakan sebagai alat kampanye untuk mendukungnya dan mendiskreditkan pesaingnya.
Partai Nasional Demokrat — salah satu pendukung utama pemerintah — mengumumkan Anies sebagai calon presiden mereka untuk pemilihan 2024 pada 3 Oktober.
Surya Paloh, seorang maestro media dan ketua partai, menyebut Anies sebagai “yang terbaik dari yang terbaik.”
Menurut beberapa lembaga survei, Anies adalah satu dari tiga calon terdepan dalam pemilu, bersama dengan Ganjar Pranowo, gubernur provinsi Jawa Tengah yang berasal dari Partai Perjuangan Indonesia yang berkuasa, dan Prabowo Subianto, menteri pertahanan yang dua kali dikalahkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pemilihan sebelumnya.
Survei terkini oleh Pusat Studi Strategis dan Internasional menemukan bahwa Pranowo mendapat dukungan terbanyak dengan 33,3%, disusul Anies 27,5%, dan Subianto 25,7%.
Pengumuman pencalonan Anies telah menghidupkan kembali diskusi tentang politik identitas, di mana orang-orang dari ras, kebangsaan, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, latar belakang sosial, kelas sosial tertentu, atau faktor-faktor lain mengikuti agenda politik berdasarkan apa yang mereka identifikasi.
Anies disebut-sebut telah mengalahkan Ahok dengan memanfaatkan kasus penistaan agama, yang mengakibatkan mantan gubernur Jakarta yang beragama Kristen itu diseret ke penjara.
Ade Armando, dosen Universitas Indonesia dan pendukung Ahok, menyebut Anies sebagai “bapak politik identitas.”
Sementara itu, lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan bahwa Partai Nasional Demokrat akan kehilangan banyak suara di Indonesia timur, tempat umat Kristen menjadi mayoritas.
Sejak dikaitkan dengan Anies, dukungan partai di Indonesia timur telah turun dari 10,8 persen tahun lalu menjadi hanya 3,9 persen sekarang.
Di tengah kritik, Anies menyuguhkan gambaran keterbukaan terhadap minoritas Kristen dengan menerbitkan foto di Instagram dirinya mengunjungi Kardinal Ignatius Suharyo di Jakarta pada 7 Oktober dengan dalih pamit karena masa jabatannya sebagai gubernur berakhir bulan ini.
Namun, sebuah video yang direkam pada hari yang sama di mana ia terlihat bertemu dengan ulama garis keras dan pendiri Front Pembela Islam, Muhammad Abib Rizieq Shihab, di sebuah pesta pernikahan semakin memunculkan kecurigaan tentang keterlibatannya dengan kelompok garis keras.
Wakil Ketua Umum Partai Nasional Demokrat, Ahmad Ali, tak menampik bahwa Anies pernah mengusung politik identitas. Namun, ia mengatakan, setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan.
“Mana ada manusia yang tidak pernah berbuat salah? Semua manusia pasti pernah berbuat salah,” katanya.
Rikard Rahmat, seorang editor di sebuah penerbit di Jakarta, menegaskan bahwa “Anies adalah ancaman besar bagi bangsa.”
“Sejak pemilihan gubernur Jakarta, dia secara sadar menggunakan segala cara untuk meraih kekuasaan, termasuk mengeksploitasi kitab suci dan memainkan politik identitas. Apakah cara-cara ini merusak persatuan dan mengoyak jalinan negara, itu tidak jadi masalah baginya, yang penting dia bisa memperoleh kursi atau kekuasaan,” katanya.
Seorang penganut Buddha di Tangerang, Provinsi Banten, yang meminta namanya tidak disebutkan, mengatakan ia khawatir kelompok garis keras akan benar-benar diberi kesempatan untuk menyebarkan kebencian lagi.
“Saya tidak tahu dia akan mencalonkan diri sebagai presiden. Saya hanya khawatir,” katanya kepada UCA News.
Sirojuddin Abbas, direktur eksekutif SMRC, mengatakan politik identitas rentan digunakan oleh elite politik sebagai alat tawar-menawar untuk mendapatkan kekuasaan dan memobilisasi dukungan.
“Karena bagaimanapun juga, di negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti kita, mobilisasi yang berdasar pada karakter sosiologis jauh lebih mudah ketimbang mobilisasi dengan target-target rasional,” ujarnya.
Achmad Nurcholis, seorang Muslim dan ketua divisi pendidikan keberagaman dan perdamaian pada Konferensi Agama dan Perdamaian Indonesia, mengatakan penggunaan politik identitas “masih tidak beradab karena memicu polarisasi, ketegangan, dan segregasi antarkelompok masyarakat.”
“Pengalaman pilkada DKI Jakarta sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa politik identitas tidak boleh lagi digunakan. Warisan buruk pilkada masih membekas hingga kini,” ungkapnya kepada UCA News.
Agar dapat terus “menjaga Indonesia”, pemimpin yang dipilih harus “berkomitmen pada keberagaman, Pancasila, nasionalisme, dan menegakkan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan umum. Mereka harus non-sektarian dan memahami bahwa Indonesia adalah negara yang pluralistik.”
Sementara itu, Pastor Antonius Benny Susetyo, anggota unit presiden yang mempromosikan toleransi komunal, mengatakan politik identitas tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain, bahkan di negara demokrasi maju.
“Mengapa? Karena murah. Membangkitkan sentimen agama dan etnis untuk mendapatkan dukungan itu mudah dan efektif,” katanya.
“Menurut saya, kita harus fokus pada bagaimana penindakannya. Penyelenggara dan pengawas pemilu serta kepolisian harus membuat aturan yang tegas. Misalnya, rumah ibadah tidak boleh digunakan untuk kampanye, apalagi kampanye hitam. Kalau ada yang melakukan itu, harus ditegur dan diberi sanksi,” katanya.
Ia menambahkan bahwa umat Kristen mungkin “tidak perlu reaktif” terhadap hal ini, tetapi perlu berkontribusi dengan mendorong wacana sehat dalam mencari pemimpin ideal.